Pernahkah anak Bunda yang di rumah sering bicara, tapi saat anak berkumpul dengan keluarga besar malah diam saja? Situasi seperti itu kadang bikin Bunda bertanya-tanya. Apakah anak mengalami keterlambatan bicara atau hanya tanda-tanda selective mutism pada anak?
Pertumbuhan anak menjadi momen yang bahagia untuk orang tua. Tak jarang tingkah laku lucunya di rumah buat kita senang. Tapi sayangnya, ada kondisi dimana anak tidak percaya diri dan hanya diam saja saat bertemu dengan orang asing. Hal seperti ini kadang dianggap wajar. tapi Bunda tetap harus waspada dan tahu, bisa jadi anak mengalami gangguan yang dinamakan selective mutism.
Selective Mutism pada Anak
Selective mutism atau kebisuan selektif merupakan gangguan kecemasan yang dimana seseorang tidak dapat berbicara dalam situasi tertentu. Gangguan ini bisa dimulai dari masa anak-anak. Tapi bisa terjadi hingga dewasa jika tidak ditangani dengan segera
Menurut situs National Health Service, Umumnya anak yang mengalami gangguan ini akan diam bahkan tidak dapat berbicara saat bertemu dengan teman sekolah atau orang asing. Selective mutism bisa ditemui pada 1 dari 140 anak. Anak akan akan mengalami situasi panik, diam membeku bagaikan demam panggung yang parah. Maka dari itu, mereka tidak dapat berbicara sama sekali.
Namun, pada waktu tertentu, orang-orang dengan selective mutism sesungguhnya bisa berbicara nyaman dengan orang-orang terdekat. Contohnya bisa bicara bebas dengan keluarga inti atau teman dekat yang memang sering ditemui. Seiring waktu, seseorang dengan selective mutism bisa mengantisipasi situasi tersebut dan berusaha untuk menghindarinya.
Kasus selective mutism sering ditemukan pada anak-anak perempuan atau anak yang belajar bahasa kedua, misaln belajarnya dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Anak juga enggan memulai pembicaraan atau merespon secara timbal balik. Jadi anak bisa berkomunikasi dengan lebih jelas dan efektif dalam situasi yang nyaman buat si anak, aman dan dirasa tenang. Seperti di hadapan anggota keluarga atau di rumah atau saat bersama teman-teman dekat
Penyebab dari Selective Mutism pada Anak
Ada beberapa penyebab dari penderita gangguan selective mutism, umumnya anak memiliki kecenderungan untuk cemas dan kesulitan yang berlebih. Banyak anak yang masih takut dengan lingkungan baru, orang-orang baru, atau keramaian. Selective mutism juga bisa disebabkan trauma tertentu. Biasanya mutisme selektif ini dimulai sebelum umur 5 tahun dan tidak mendapat perhatian klinis sampai usia sekolah.
Tanda-tanda Selective Mutism
Ada beberapa tanda-tanda pada anak jika mengalami selective mutism, diantaranya:
- Anak sering gugup atau gelisah
- kasar dan cemberut
- kaku dan tegang
- keras kepala dan agresif. Umumnya anak marah saat ditanya orang tua
- sulit bergaul dan sangat pemalu
- Kalau anak tampil di depan umum ada gejala demam panggung, bisa sakit perut, mual bahkan sesak nafas, lalu selalu menempel ke orang terdekatnya.
Akibat Selective Mutism pada Anak
Selective mutism dapat memengaruhi akademik dan kehidupan sosial anak. Dokter tumbuh kembang anak, dr. Ajeng Indriastari menjelaskan bahwa anak dengan gangguan ini akan kesulitan saat menghadapi kegiatan sekolah, misalnya anak bisa kesulitan ketika harus menyanyi di depan kelas atau mengerjakan soal di papan tulis.
Untuk kehidupan sosialnya, anak bisa pemalu walaupun dipertemukan dengan teman sebayanya. Ia akan gagal bicara, kesulitan bahasa reseptif, dan lebih parahnya lagi ada yang anaknya sampai marah hingga tantrum ketika di tempat baru atau tempat umum. Penyebab ini diakibatkan karena anak kesulitan menyesuaikan diri dan tidak bisa mengontrol kecemasannya.
Cara penanganan Selective Mutism
- Beri dukungan
Ayah dan Bunda harus mampu memberikan dukungan moral untuk anak, bukan memaksanya. Contohnya ketika anak dikenalkan dengan orang baru. Ajak dia dengan pelan dan jangan memaksanya. Sebab anak membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu.
- Lakukan pemeriksaan
Ketika Bunda sudah mencoba segala cara anak untuk berani tampil dan bertemu orang baru, tapi anak tetap memilih diam saat di luar rumah, lebih baik konsultasikan ke ahli. Bunda bisa konsultasi dengan dokter anak, dokter tumbuh kembang, psikolog atau psikiater anak. Setelah itu, Bunda akan mendapatkan rekomendasi ataupun tindakan sesuai dengan diagnosis anak.
- Terapi
Menjalani terapi bisa jadi salah satu penangan yang efektif untuk anak dengan selective mutism. Beberapa anak bisa memiliki gangguan bicara dan bahasa secara bersamaan, maka sebelumnya kita tes dulu kemampuan bicara dan bahasa untuk mengesampingkan gangguan komunikasi yang lain. Setelah itu bisa dengan terapi perilaku
Adapun contoh cognitive behavioral therapy atau CBT sebagai berikut:
- Manajemen kontingensi, yaitu memberikan bantuan positif untuk anak. Mulai dari perilaku verbal, mulai dari kita berbisik, menunjuk, hingga verbalisasi dengan suara keras.
- Shaping, membentuk perkiraan perilaku yang diinginkan.
- Stimulus Fading, jadi secara bertahap meningkatkan jumlah orang dan tempat di mana percakapannya dihargai, misalnya kenalan dulu sama satu orang teman, habis satu orang baru 2 orang teman, jangan sekaligus.
- Desensitisasi, anak-anak secara bertahap dipaparkan ke situasi yang menimbulkan kecemasan, tetapi diberikan dukungan emosional dan bimbingan dengan latihan relaksasi untuk membantu mereka mengatasi kecemasan. Jadi sebelum diajak ke tempat yang baru kita sudah jelaskan “kita mau pergi ke sini, nanti di sini ada ini ini ini, kita bakal ketemu ini.”
- Cognitive reframing, anak-anak diajarkan untuk mengidentifikasi pola-pola kecemasan dan muncul dengan pemikiran alternatif yang positif, misalnya “nggak papa kok itu baik kok, om yang itu baik, om yang itu Papa Kakak Jefri, om itu nggak galak kok walaupun ada kumisnya.”
Selective Mutism memang bisa dianggap wajar bagi beberapa orang tua, namun bukan berarti kita bisa lengah akan gangguan ini. Jika dibiarkan saja, dampaknya bisa fatal untuk akademik maupun sosialnya. Jadi ajarkan anak untuk mengurangi kecemasan dengan mengajaknya bertemu dengan orang baru maupun kelompok bermain yang sebaya. Perilakunya kita latih supaya anak lebih berani dan lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.