Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) mengumumkan bahwa setiap tahun ditemukan 5.100 kasus baru HIV yang menimpa ibu rumah tangga. Para bunda tersebut terinfeksi Human Immunodeficiency Virus karena terpapar oleh suaminya yang memiliki perilaku seksual yang berisiko.
Menurut informasi dari berbagai sumber, Juru Bicara Kemenkes dr. Mohammad Syahril dalam konferensi pers menyatakan kondisi itu diperparah dengan minimnya pengetahuan para bunda atau ibu rumah tangga terhadap cara pencegahan dan bagaimana bahayanya penyakit tersebut. Padahal seperti diketahui, ketika seorang bunda telah terpapar penyakit tersebut maka itu akan berisiko menularkannya kepada anaknya.
Dari 526.841 orang dengan HIV yang tercatat pada data Kemenkes per Desember 2022, baru 429.215 yang sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV-nya. Artinya ada 100 ribu orang dengan HIV belum terdeteksi, atau belum memeriksakan dirinya, dan mereka berpotensi menularkan HIV.
Selain itu, sebanyak 300 ribu pasien positif HIV tidak mendapatkan pengobatan yang juga berpotensi menularkannya. Ini akan memperpanjang rantai penularan HIV khususnya di Indonesia.
Syahril mengemukakan tingginya kasus pada ibu rumah tangga juga disebabkan hanya 55 persen ibu hamil yang mendapatkan izin suami untuk bisa mengikuti tes HIV. Pelarangan oleh suami tersebut ditengarai karena terganjal stigma negatif di masyarakat tentang penyakit yang belum ditemukan obatnya ini.
Minimnya Pengetahuan Tentang HIV
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa ternyata minimnya pengetahuan tentang besarnya dampak dari penyakit ini membuat banyak orang masih abai untuk melakukan tindakan pencegahan. Terlebih ketika ada andil dari suami yang seolah ‘mencegah’ istri untuk melakukan pencegahan penularannya dengan melarang istrinya melakukan pemeriksaan tersebut.
Di mana dilaporkan dari jumlah tersebut, sebanyak 7.153 ibu hamil yang positif HIV, 76 persennya belum mendapatkan pengobatan ARV (Antiretroviral).
“Ini juga akan menambah risiko penularan kepada bayi,” ucapnya.
Tidak hanya itu, Syahril juga menyoroti jumlah tes yang tidak sepadan dengan perilaku berisiko yang tinggi. Akhirnya, itu membuat 45 persen bayi yang lahir dari ibu yang positif akan terlahir dengan penyakit yang memiliki stigma negatif di masyarakat ini. Dan sepanjang hidupnya akan menyandang status HIV positif. Ketika anak telah positif maka kualitas hidupnya akan terpengaruh selamanya.
Total ada 14.150 anak dengan rentang usia satu hingga 14 tahun dinyatakan positif HIV per tahun ini. Angka ini bertambah 700-1.000 anak setiap tahunnya. Jika hal ini dibiarkan, menurut Syahril, infeksi masih akan terus terjadi. Padahal penularan dari ibu kepada janinnya masih bisa dicegah dengan pengobatan agar si janin terlahir tanpa mengidap penyakit ini seperti bundanya.
Adapun skrining pada setiap individu, terutama yang berpotensi menderita HIV, harus menjadi prioritas demi mencapai eliminasi. Termasuk pemutusan mata rantai penularannya secara vertikal dari ibu ke bayi. Ia meminta setiap pihak untuk mendukung para ibu yang terinfeksi mendapatkan pemeriksaan HIV sesuai tatalaksana dan mendapatkan ARV.
ARV diperlukan untuk mengurangi risiko penularan virus. Dengan begitu, ibu yang terinfeksi tidak mengalami keparahan yang berujung pada AIDS. Ini perlu menjadi perhatian bahwa istri yang merasa memiliki suami dengan perilaku seksual yang berisiko sebaiknya sesegera mungkin untuk melakukan skrining.
Ini juga tidak menutup kemungkinan jika sang istri tidak mengetahui atau tidak mencurigai sama sekali bahwa suaminya memiliki perilaku seksual yang berisiko. Maka sebaiknya saat hamil segera melakukan skrining untuk mengetahui apakah dirinya negatif.
Tidak hanya karena suami yang memiliki perilaku seksual yang berisiko saja, ketika istri ternyata juga memiliki perilaku seksual yang berisiko juga wajib untuk melakukan skrining. Pada kasus ini sangat wajib agar ketika hamil ia tidak menularkannya ke janin di kandungannya. Diketahui bahwa penularan pada bayi yang belum lahir bisa terjadi melalui plasenta selama kehamilan.
Singkatnya, tak lupa Syahril juga menyampaikan agar sebaiknya hanya melakukan hubungan seksual yang sehat. Yaitu hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangannya saja. Dan sebaiknya juga menggunakan pengaman untuk mencegah penularan HIV, meski tidak adanya perilaku seksual yang berisiko dari pasangan.