Kesehatan Mental – Dalam berumah tangga terkadang muncul perselisihan, terutama antara suami dan istri. Namun Ayah dan dan Bunda perlu mengetahui dampak buruknya jika Ayah dan Bunda bertengkar di depan anak-anak. Karena faktanya pertengkaran orang tua memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan emosi anak.
Pertengkaran memang wajar terjadi karena perbedaan dua kepala yang setiap hari hidup bersama dalam ikatan pernikahan. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, saat pasangan suami istri telah memiliki buah hati, maka sebaiknya bisa bersikap lebih bijak dalam berselisih, terutama saat berada di depan anak-anaknya.
Semua telah sepakat bahwa menjadi orang tua yang baik membutuhkan pribadi yang selalu memperbaiki diri setiap harinya. Termasuk dalam bersikap di depan anak-anak yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosional anak. Maka dari itu orangtua perlu lebih mindful agar bisa mengontrol dirinya dengan baik bagaimanapun kondisinya.
Konflik antarpasangan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, maka yang dapat dilakukan Ayah Bunda adalah mengupayakan agar konflik yang terjadi tidak sampai melukai anak-anak. Bahkan Ayah dan Bunda dapat membalikkan keadaan dengan mengajarkan kepada anak-anak dalam mengatasi konflik secara bijak.
Penelitian tentang Dampak Pertengkaran Orangtua
Jadi, apa saja dampak buruk jika anak melihat pertengkaran kedua orangtuanya? Yuk simak berikut ini.
Anak Merasa Tak Aman
Sebuah penelitian dari seorang psikolog tumbuh kembang dari Notre Dame University, E. Mark Cummings menyebutkan bahwa anak-anak menangkap sinyal emosi dari orangtuanya untuk mengukur seberapa aman ia dalam keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa saat ia menangkap emosi negatif dari orangtuanya, pada saat itu pula ia merasa terancam.
Ternyata inilah yang dimaksud pertengkaran orangtua dapat melukai perasaan anak. Karena dalam benak anak, ia merasa terancam saat kedua orangtuanya beradu argumen dengan nada tinggi. Padahal seharusnya anak mendapatkan kenyamanan dan merasa aman saat bersama orangtuanya.
Dan perasaan ini membuat anak takut saat berada di rumah bersama kedua orangtuanya, apalagi jika ia mengalaminya secara kontinyu, atau berkali-kali. Maka yang terjadi adalah anak semakin stres karena terus menerus merasa ketakutan. Dan ini akan berdampak buruk terhadap perkembangan emosinya, yang tentu akan membekas hingga ia dewasa.
Anak Menyimpan ‘Kerusakan’ Selama Hidupnya
Tidak hanya itu, sayangnya, perilaku buruk dan kata-kata kasar yang ia lihat dan dengar dari kedua orangtuanya ketika bertengkar dapat terpatri dalam dirinya selama hidupnya. Ini sangat berbahaya, jika saat bertengkar orangtua selalu mengeluarkan kata-kata kasar dan bahkan sampai berperilaku buruk seperti memukul atau melempar barang, maka yang terjadi adalah memori itu tersimpan di otak anak selamanya.
Sebagai orangtua yang menyayangi buah hatinya tentu tidak ingin ini terjadi. Karena ketika anak menyimpan memori buruk ini selamanya, yang akan terus menumpuk dalam memorinya. Sebuah penelitian yang meninjau cara kerja otak terkait ingatan seseorang menemukan bahwa kenangan buruk hingga pengalaman traumatis akan lebih mudah terngiang di kepala daripada kenangan indah.
Para peneliti dari Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Tulane AS dan Fakultas Kedokteran Universitas Tufts, di AS telah mempelajari pembentukan ingatan di otak. Penelitian itu menemukan bahwa pengalaman yang traumatis dapat merangsang sistem pusat di otak yang mengatur sisi emosional. Sistem pusat di otak itu disebut dengan amigdala dan itu memiliki teori tertentu di balik mekanismenya.
Memicu Anak Menjadi ‘Penyerang’
Seperti yang kita ketahui bahwa otak anak berkembang sampai 80 persen saat ia berada di masa golden age, atau sampai ia berusia 5 tahun. Pendekatan pengasuhan orangtua memiliki andil besar dalam menentukan bagaimana sistem dan kimiawi otak anak diaktifkan.
Seperti yang dijelaskan dalam buku The Science of Parenting karya Margot Sunderland, pada masa pertumbuhan otak tersebut, jutaan koneksi otak sedang dibentuk, tidak dibentuk, dan kemudian dibentuk kembali. Dan pembentukan koneksi pada otak tersebut bergantung pada pengalaman hidup sang anak, terutama pengalaman emosional dengan orangtuanya.
Otak manusia secara khusus dirancang sedemikian rupa sehingga bisa terhubung untuk beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Jika seorang anak memiliki orangtua yang sering bertengkar dan mengintimidasi satu sama lain, bahkan juga mengintimadasi anaknya, maka otak si Kecil juga akan beradaptasi dengan hidup di dunia intimidasi.
Bentuk adaptasi tersebut yaitu dengan mengubah struktur dan sistem kimiawi otak sehingga meningkatkan kewaspadaan, reaksi ketakutan, bahkan juga meningkatkan impuls serangan dan pertahanan pada otak reptil. Otak reptil (lower brain) merupakan bagian otak terdalam yang mengaktifkan perilaku naluriah yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang diperlukan untuk menopang kehidupan, salah satunya untuk menyerang atau berkelahi.
Sehingga anak yang sering melihat pertengkaran hebat kedua orangtuanya berpotensi untuk menjadi sosok yang dapat memicu perkelahian atau merespons ancaman dengan penyerangan. Tentu saja ini mengkhawatirkan jika ia tumbuh dengan kebiasaan seperti itu. Karena ia berpotensi menjadi pelaku tindak kejahatan di kemudian harinya, yang tentunya tidak diinginkan oleh orangtua manapun di dunia ini.